News Update :

Fiqih Pencitraan Perspektif Al-Qur’an

Selasa, 25 Oktober 2011

H. Muhammad Widus Sempo, MA
 dakwatuna.com - Allah SWT berfirman:

 فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ ﴿٣٢
Maka janganlah kamu sekalian menyucikan diri sendiri. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertaqwa.” (QS. an-Najm [53]: 32)

Dan firman-Nya:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿١٠٥﴾
Dan Katakanlah:Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan apa yang telah kamu kerjakan.”” (QS. at-Taubah [9]: 105)

Hemat penulis, kedua ayat ini telah meletakkan dasar-dasar pencitraan yang tepat dan benar, pencitraan yang bernuansa islami, dan bebas dari polusi popularitas semu.
Dasar pertama: Jauhi keangkuhan dan kesombongan yang terbentuk dari puji diri!
Jarullah az-Zamakhsyari di saat menyuguhkan telaah mendalam terhadap ayat pertama, beliau berkata:
“Firman-Nya: (فَلاَ تُزَكُّواْ أَنْفُسَكُمْ), artinya: jauhkan diri Anda dari animo yang selalu ingin mengembalikan kepada diri sendiri kinerja bagus, kebaikan yang melimpah ruah, dan ketaatan, atau kesucian dari segala bentuk kemaksiatan, serta hindari puji diri dengan mengabaikannya. Sesungguhnya Allah mengetahui yang suci dan bertaqwa dari kalian sebelum kalian dikeluarkan dari sulbi Adam, dan dari rahim ibu masing-masing.”[[1]]
Telaah singkat beliau terhadap ayat tersebut memaparkan tiga langkah kuat yang dapat menjauhkan diri dari pencitraan semu akibat hawa nafsu yang senantiasa membisikkan kata ini: “wahai diriku! Dirimu, dirimu. Sucikan dan agungkan ia selalu!”
a. mengabaikan keinginan diri yang senantiasa ingin mengembalikan kebaikan dan ketaatan kepada diri sendiri:
Tidak ada satu pun kebaikan yang telah dilakukan dan terlaksana dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain, atau petunjuk dan taufik dari Allah SWT. Olehnya itu, mengembalikan segala bentuk kebaikan dan ketaatan kepada diri sendiri menyalahi hukum kausalitas ilahi (sebab-akibat).
Mari kita lihat secara saksama dan lebih dekat lagi argumentasi di bawah ini!
Seorang ilmuwan sejati yang telah menemukan formula kimia, atau teori fisika seyogianya tidak mengembalikan penemuan tersebut kepada dirinya sendiri dan berkata:
“Dengan dedikasi tinggi dan kejeniusan yang aku miliki telah menuntunku menemukan rumusan ini yang dapat memberikan perubahan berarti terhadap kelangsungan hidup manusia, dan kemajuan dunia ilmu pengetahuan.”
Dia tidak patut mengucapkan kata keji itu, bahkan tidak sewajarnya terpetik di hati dan terlintas di benak, karena rumusan tersebut tidak tercipta dengan sendirinya tanpa menggunakan materi-materi dasar yang dibuat para pendahulunya, mensinergikan antara satu formula kimia dan rumusan fisika dengan yang lain, dan mencari waktu dan tempat yang kondusif demi melahirkan ide-ide cemerlang. Tentunya, faktor-faktor tersebut ikut andil dalam lahirnya penemuan ilmuwan sejati itu, disadari atau dilupakan. Maka dari itu, mengembalikan keberhasilan dan kesuksesan kepada diri sendiri merupakan kezhaliman tersendiri terhadap seluruh entitas kehidupan yang telah berperan aktif di balik kejayaan sebuah ide dan teori. Kiaskanlah kepada contoh sederhana ini semua bentuk kesuksesan di pelbagai sisi kehidupan.
Kenyataan hidup ini telah dipertegas oleh pernyataan Steve Jobs (pendiri perusahaan Apple yang bergerak di bidang teknologi komputer. Beliau wafat pada tanggal 5 Oktober 2011) sebagaimana berikut:
“Sesungguhnya yang berkecimpung di perusahaan Apple bukan hanya Ahli program komputer (computer programmer), tetapi ada juga pelukis, penyair, ahli desain (designer). Mereka melihat produk dalam sudut pandang yang berbeda, sehingga akhirnya mereka menciptakan hasil spektakuler sebagaimana yang Anda lihat.”[[2]]
Yang dapat disimpulkan dari deskripsi di atas bahwa sebuah keberhasilan tidak akan tercapai kecuali jika ada perpaduan kinerja beberapa tangan baik sekarang atau pada masa lampau. Dan pastinya, mengembalikan kejayaan kepada diri sendiri merupakan penghinaan tersendiri terhadap mereka.
b. Mengakui kezhaliman diri sendiri:
Setiap manusia tidak lekang dari dosa. Setiap hari mereka berpotensi kuat melakukan kemaksiatan. Itu wajar saja karena hawa nafsu senantiasa menyertai mereka di setiap kesempatan. Olehnya itu, menganggap diri suci dari dosa merupakan kepicikan dari bisikan hawa nafsu yang kotor.
Rasul Saw bersabda:

كُلُّ بَنِى آَدَم خَطّاءٌ. وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التّوَّابُونَ
“Setiap anak cucu Adam tidak lekang dari kesalahan. Dan sebaik-baiknya dari mereka yang salah adalah yang bertaubat.”[[3]]

Artinya, yang dituntut dari pelaku kesalahan, kemaksiatan dan dosa adalah bertaubat, dan bukan cuci tangan dari kelakuan tersebut. Jadi, penyucian diri dengan pengakuan dan taubat, bukan dengan mengaku-ngaku suci (sok suci).

Nilai hadits ini dipertegas oleh Ustadz Said Nursi dalam pernyataannya berikut ini:
“Penyucian diri bukan dengan menyucikannya, tetapi dengan tidak menyucikannya.”[[4]]
Mereka yang senantiasa mengaku suci, boleh jadi dialah yang mengabaikan nilai-nilai kesucian diri yang disuarakan Islam. Olehnya itu, mengaku suci merupakan pembangkangan dan keangkuhan tersendiri terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajak kepada penyucian diri yang mengedepankan pengakuan dan taubat. Maka dari itu, sebelum aibmu nampak, wahai diriku yang sok suci, di pengadilan Tuhanmu Yang Maha Adil, maka akuilah dosamu dan bertaubatlah darinya!
c. menghindari puji diri:
Aku, saya, dan hanya diri saya saja, ungkapan-ungkapan pujian yang senantiasa dibisikkan setan kepada mereka yang suka puji diri. Mereka senantiasa berusaha menutupi seribu satu kekurangan dan aib dengan menyebut-nyebut satu kebaikan yang dilakukannya. Bukan hanya itu, mereka kerap kali mengembalikan keberhasilan orang lain kepada diri mereka sendiri hanya karena godaan pujian semu itu. Parahnya lagi, jika mereka menebar janji dan kebaikan yang di kemudian hari tidak terbukti.
Budaya seperti ini telah dihujat oleh cemooh Al-Qur’an berikut ini:

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah terhadap sesuatu yang kamu katakan dan kamu tidak mengerjakannya.” (QS. ash-Shaf [61]: 2-3)

Seandainya saja ada segenggam kesadaran dalam diri mereka tentang hakikat kehidupan ini, maka mustahil mereka memperdengarkan kata-kata tersebut yang cukup mengusik ketenteraman pendengaran.
Apakah yang patut kita banggakan? Tidak ada. Harta, jabatan, bahkan keluarga dan kerabat akan ditinggalkan, atau mereka yang lebih dahulu meninggalkan kita. Jadi dengan apa kita memuji diri, jika sebab yang mendorong adanya puji diri itu tidak kekal? Bukankah yang sepatutnya dipuji adalah yang Maha Kekal yang memberikan kenikmatan kekal di surga-surga-Nya kepada mereka yang tidak memuji diri? Memuji diri jalan tercepat meruntuhkan amal ibadah dan pahalanya.
Hal ini diperkuat oleh hadits di bawah ini:

قَالَ رَبِيْعَة بن كَعْبٍ: َدَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِيْ: مَا حَاجَتُكَ؟ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّه اشْفَعْ لِي إِلَى رَبِّكَ عَزَّ وَجَلَّ فَلْيُعْتِقْنِي مِنْ النَّارِ، فَقَالَ: (مَنْ أَمَرَكَ بِهَذَا؟) فَقُلْتُ: لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَمَرَنِي بِهِ أَحَدٌ، وَلَكِنِّي نَظَرْتُ فِي أَمْرِي فَرَأَيْتُ أَنَّ الدُّنْيَا زَائِلَةٌ مِنْ أَهْلِهَا، فَأَحْبَبْتُ أَنْ آخُذَ لِآخِرَتِي، قَالَ: (فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ).
“Rabiah bin Ka’ab berkata: tatkala saya mendatangi Nabi Saw, beliau berkata kepadaku: (apakah hajatmu?) aku berkata: Wahai Rasulullah! Berikanlah syafaatmu terhadapku dari sisi Allah, sehingga aku terbebas dari api neraka, beliau menjawab: (Siapa yang memerintahkanmu hal tersebut?) aku berkata: demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang memerintahku dalam hal ini, tetapi saya mencermati perihal aku sendiri, dan aku melihat bahwa dunia ini fana, sehingga aku ingin sekali mempersiapkan bekal di dunia ini untuk akhiratku. Rasul Saw berkata: (bantulah aku dalam mewujudkan keinginanmu itu dengan memperbanyak sujud).”[[5]]

dan sabda Rasul Saw sebagaimana berikut:

أَصْدَقُ كَلِمَةٍ قَالَهَا الشَّاعِرُ قَوْلُ لَبِيدٍ أَلاَ كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلاَ اللَّه بَاطِلٌ
“Sebenar-benarnya kalimat yang dilantunkan seorang penyair adalah perkataan Labid bin Rabiah: (Ketahuilah! Setiap sesuatu selain dari Allah SWT pasti rusak.[[6]]

Kedua hadits ini memberikan peringatan pedas kepada mereka yang hanyut dalam puji diri. Keduanya menegaskan urgensi kehidupan yang berorientasi akhirat. Kehidupan yang menuntut persiapan dini, mengabaikan keindahan pujian antar sesama yang mengecoh dan menipu, serta kehidupan yang menempatkan dunia sebagai tempat persinggahan semata. Tentunya, mereka yang singgah di suatu tempat persinggahan tidak diizinkan untuk tinggal lebih dari waktu yang diizinkan. Olehnya itu, yang terbuai dan tidur lelap dalam pujian sekejap sehingga mengabaikan pesan-pesan ilahi yang menyuarakan dengan begitu kuatnya urgensi kehidupan duniawi yang berorientasi akhirat, akan merugi dan menyesali dirinya sendiri, penyesalan yang dibalut oleh seribu satu duka yang memilukan.
Jika ada yang bertanya: “apakah seseorang boleh memberikan kelakuan baik dan perbaikan karakter kepada orang lain? Dan jika itu boleh, maka dalam hal apa saja diperbolehkan?”
Kepada Anda al-Qadhi ibn Atiyyah menjawab:

“Firman-Nya: (فَلاَ تُزَكُّواْ أَنْفُسَكُمْ) makna lahiriyahnya adalah larangan bagi seseorang untuk menyucikan dirinya, atau saling menyucikan diri. Jika seperti itu, maka kalimat itu melarang pencitraan nama baik dan pujian demi menggapai manfaat duniawi semata.
Adapun pencitraan imam atau panutan terhadap seseorang sehingga dia bisa menjadi contoh dan teladan terhadap yang lain dalam kebaikan, maka itu boleh saja. Sesungguhnya Rasul Saw telah melakukan pencitraan nama baik terhadap Abu Bakar dan sahabat lainnya. Demikian pula pencitraan nama baik terhadap mereka yang diangkat sebagai saksi guna menunaikan hak orang lain. Pencitraan nama baik itu boleh jika didasari ketaqwaan dan ada hajat yang ingin dipenuhi.”[[7]]
Singkatnya, Pencitraan nama baik boleh jika didasari keikhlasan, bukan pencitraan yang dipicu oleh kebohongan dan manipulasi demi kepentingan duniawi semata, tetapi pencitraan yang mengedepankan kemaslahatan umat.
Dasar kedua: Yakinilah bahwa amal yang jauh dari puji diri tidak akan sia-sia!
Jika ada dari mereka yang menanyakan makna penglihatan Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin terhadap amal manusia di ayat kedua, dan berkata: “Apakah penglihatan tersebut hanya sebatas melihat tanpa ada imbalan jasa, atau penglihatan itu merupakan penegas terhadap urgensitas amal baik, bahwa yang terlihat di kaca mata pembalasan amal hanyalah yang baik dari pelbagai amalan, dan hanya dialah yang berhak mendapatkan pahala?”
Kepada Anda Syekh Sya’rawi telah memberikan jawaban seperti ini:
“Penglihatan ini yang datang dari Allah SWT, Rasul-Nya dan orang-orang beriman tidak punya nilai kecuali jika penglihatan tersebut disertai dengan pemberian pahala atau hukuman. Penglihatan itu bukan sekedar penglihatan saja, tetapi yang melihat adalah yang punya kemampuan memberi pahala dan hukuman. Dan pastinya kamu sekalian akan kembali kepada-Nya. Dan Jika di dunia ini kehidupan dipengaruhi hukum kausalitas (sebab akibat), kehidupan yang dihuni oleh orang kafir dan mukmin, orang taat dan durhaka, maka di sana ada alam gaib yang hanya dimiliki Allah sendiri.”[[8]]
Hemat penulis, laboratorium Al-Qur’an melihat dengan mikroskop ayat ini bahwa amal yang senantiasa dikenang dan tidak sia-sia adalah amal yang tidak tercemar oleh limbah puji diri, amal yang senantiasa dipicu oleh keikhlasan semata dan lebih mengedepankan kepentingan umat. Amal seperti ini meskipun disembunyikan dari publikasi massa dan media popularitas, ia akan nampak dengan sendirinya karena hanya dia saja yang lulus di tes laboratorium Al-Qur’an. Yang lainnya jika nampak di permukaan maka ia akan berlalu dengan cepatnya, dan jika dikenang maka ia tidak memberi nilai tambah dalam kehidupan manusia kecuali kepedihan dan kepiluan. Bukankah yang patut dikenang itu adalah amal baik?
Olehnya itu, Al-Qur’an lebih memilih kata kerja (يَرَى) yang berarti melihat dari kata kerja lain. Artinya, amal baik yang penuh dengan keikhlasan dan dedikasi tinggi senantiasa terlihat di pelupuk mata, dan jika ia terlihat pasti dikenang, dan jika dikenang pasti ingin ditiru, dan pelakunya senantiasa mendapatkan doa dari siapa saja yang ingin mencontohnya. Jika amal baik di dunia seperti ini, maka jauh lebih baik lagi balasan yang menunggunya di akhirat.
Berikut ini ayat Al-Qur’an yang memberikan ketegasan terhadap hal di atas:
“Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi.” [QS. ar-Ra'ad [13]: 17]
Di penghujung tulisan ini, saya mengajak pemerhati tema-tema keislaman menyimpulkan apa yang telah dipaparkan di atas:
“Pencitraan yang islami adalah pencitraan yang suci dari puji diri, bebas dari hiruk pikuk dunia popularitas yang memabukkan lagi semu. Pencitraan yang terbentuk dengan sendirinya dari amal baik yang didasari oleh keikhlasan yang berorientasi akhirat.”


Catatan Kaki:
[1] Lihat: az-Zamakhsyari, al-Kassyâf, vol. 5, hlm. 646
[2] Lihat: koran ­­al-Masry al-Youm, edisi 2674, yang terbit pada hari Ahad, 9 Oktober 2011, hlm. 12
[3] Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a dari Rasul Saw. [lihat: Abu Ishâq bin Ibrâhîm bin Ishâq al-Harby, Gharibul Hadits, University ofUmmul Qura' for Publishing and distributing, cet. 1, 1405 h/1985 m, vol. 2, hlm. 719]
Hadits ini disebutkan oleh Syekh Abdul Haq bin al-Kharrât dalam bukunya al-Ahkâm al-Wusthâ, dan dijustifikasi sebagai hadits Gharib (hadits yang diriwayatkan oleh perawi tunggal dari salah satu syekh tempat ia mengambil hadits, yang tidak diriwayatkan oleh perawi lain dari syekh tersebut). Selanjutnya justifikasi ini dikritisi oleh Syekh ibn al-Qattân, beliau berkata:
“bagi saya hadits ini hadits shahih, dan bukan hadits gharib. Sanad hadits ini terdiri dari para perawi sebagaimana berikut: dari Ahmad bin Mani’, ia berkata: hadits ini diberitakan kepada kami oleh Said bin al-Hubab, dari Ali bin masadah al-Bahili, dari Qatadata, dari Anas r.a.. Sementara itu, Ali bin Masadah layak meriwayatkan hadits, sebagaimana penuturan Imam Yahya bin Main. Keghariban hadits ini karena yang meriwayatkannya dari Qatadata hanya Ali bin Masadah.” [Lihat: Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Abdul Malik al Qattân al-Fâsi, Bayân al-Wahmi wa al-Ihâm al-Wâqiain fî Kitâb al-Ahkâm, dipelajari dan ditahkik oleh DR. al-Husain Abet Saîd, Dar Tibah, Riyadh, cet. 1, 1418 h/1997 m, (hadits no. 2584) vol. 5, hlm. 414] 
[4] Lihat: Bediuzzaman Said Nursi, al-Maktûbât, vol. 2, hlm. 343
[5] Lihat: Bediuzzaman Said Nursi, al-Maktûbât, vol. 2, hlm. 343
[6] Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a dari Rasul Saw. [Lihat: Shahih Bukhari, Kitab ar-Riqâq, bab al-Jannah Aqrab ila Ahadikum minSyirâki Na'lihi,wa an-Nâr Mitslu Dzalik, no. hadits: 6489, hlm. 1750]
[7] al-Qadhi ibn Atiyyah: al-Muharrâr al-Wajîz, vol. 5, hlm. 205
[8]   Syekh Mutawalli as-Sya’râwi, Tafsir asy-Sya’râwi, vol. 9, hlm. 5482

Artikel Terkait

Share this Article on :

Posting Komentar

 

© Copyright DPC PKS Lawang 2010 -2011 | Redesign by PKS Lawang | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.