Oleh: Imam Syafi'i, Lc, MPd Anggota DPRD II Kab. Malang |
Perempuan adalah basis yang menjadi indikator kebaikan masyarakat. Jika perempuan baik, maka masyarakat akan baik, dan sebaliknya jika perempuan rusak maka masyarakat akan rusak pula.
Kebaikan perempuan bukan dengan mengekangnya di rumah dan menahannya dari memperoleh hak-haknya. Juga bukan dengan memberi kebebasan seluas-luasnya kepadanya untuk beraktivitas sehingga melupakan tanggung jawabnya baik sebagai Ibu, istri maupun anak gadis. Tetapi kebaikannya adalah dengan memberikan peluang kepadanya untuk berkiprah dalam perbaikan masyarakat sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam batasan syar’i sesuai dengan kodratnya.
Kiranya pandangan inilah yang moderat di antara dua kutub yang ekstrim dalam memposisikan wanita, yaitu pandangan yang konservatif dan pandangan yang liberal.
Aktivitas Sahabiyat Dalam Kehidupan Politik
Apabila kita menengok sejarah, maka ada beberapa sahabiyat yang terlibat dalam kehidupan dan momen politik
Saat hijrah ke Habasyah yang pertama, ada nama-nama sahabiyat yang ikut di sana yaitu Ruqoyyah binti Muhammad SAW (istri Utsman bin Affan), Sahlah binti Sahal (istri Abu Hudzaifah), Ummu Salamah binti Abu Umayyah (istri Abu Salamah), Laila binti Hitsmah (istri Amir bin Rabi’ah). Adapun pada hijrah yang ke dua jumlah perempuan yang ikut mencapai delapan belas orang, di antaranya Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Asma’ binti Umais, Hamimah binti Khalaf al Khuza’iyah.
Sedangkan saat hijrah ke Madinah juga ada perjuangan sahabiyat yang sangat fenomenal, di antaranya adalah Ummu Salamah yang terpaksa berpisah dengan anak dan suaminya untuk sementara waktu, ada juga Asma’ binti Abu Bakar yang melahirkan anaknya yaitu Abdullah bin Zubair dalam perjalanan hijrah ke Madinah.
Ada juga beberapa sahabiyat yang berani melakukan pengingkaran kepada pemimpin yang zalim, antara lain adalah Ummu Darda’. Pada suatu malam Khalifah Abdul Malik memanggil pelayannya. Karena terlambat menyambut panggilannya, Abdul Malik memaki-maki pelayannya.
Keesokan harinya, Ummu Darda’ berkata,” Aku dengar semalam kamu mengutuk pelayanmu ketika kamu memanggilnya. Aku pernah mendengar Abu darda’ mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
Orang-orang yang ahli mengutuk tidak dapat memperoleh syafaat dan tidak dapat menjadi saksi pada hari kiamat” (HR. Muslim)
Sektor Aktivitas Perempuan
Dalam beraktivitas, paling tidak ada tiga sektor peran perempuan:
1. Sektor reproduksi: urusan kodrati perempuan, yakni menstruasi, menikah, melahirkan dan menyusui.
2. Sektor domistik: urusan kerumahtangggan, seperti mencuci, menyetrika dll.
3. Sektor publik: urusan di luar rumah tangga, seperti mencari nafkah, beraktivitas sosial sebagai wujud eksistensi diri.
Dari ketiga aktivitas di atas, laki-laki mampu dan layak untuk melakukan aktivitas nomor 2 dan 3. Yang tidak bisa dilakukan laki-laki hanyalah aktivitas sektor reproduksi khas perempuan (no. 1).
Gerakan Perempuan Masa Reformasi
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, justru ada penurunan di banding masa-masa akhir rezim orba. Namun, secara kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.
Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.
Perempuan di Pentas Parlemen
Setiap parpol peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Demikian bunyi UU Pemilu pasal 65 ayat (1).
Diundangkannya UU Pemilu di atas mendapat banyak tanggapan. Sebagian pihak menganggap ini angin segar, sebagian lagi sebaliknya.
Namun, bila kita hendak berpikir positif paling tidak peluang keterwakilan perempuan sejumlah 30% itu merupakan babak awal dari affirmative action yang menurut banyak pihak merupakan jalan terbaik dan terstrategis bagi perempuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas keterwakilannya di parlemen.
Sampai dengan era reformasi yang lebih mengedepankan semangat demokrasi saat ini, keterwakilan perempuan boleh dikatakan masih under represented.
Dari 560 kursi jumlah keselurahan perempuan di Senayan jelas minim. Belum lagi sebaran komisi mereka masih menunjukkan stereotiping perempuan pada umumnya.
Mengapa keterwakilan perempuan di lembaga politik tidak proporsional? Paling tidak ada beberapa penyebab yang substansial, yaitu: (1) perempuan kurang diberi peluang dan akses politik, (2) jumlah perempuan yang tertarik menekuni dunia politik masih minim, salah satunya terkait dengan persepsi bahwa politik itu tabu, kotor, amat maskulin dsb. (3) Kualitas SDM perempuan memang masih belum bisa disamakan dengan laki-laki, terkait dengan struktur masyarakat yang masih sangat patriarkhi, termasuk dalam memberikan kesempatan menikmati pendidikan tinggi.
Bagaimanapun caleg perempuan akan sangat berharap pada suara pemilih perempuan. Hitungan di atas kertas, semestinya menggembirakan, karena pemilih perempuan lebih banyak dari pemilih laki-laki. Tetapi ternyata kepercayaan terhadap caleg perempuan cukup sulit ditumbuhkan. Hasil penelitian IRI tahun 2003 berikut dapat dijadikan gambaran. Responden yang dipilih adalah muslim dari kelompok liberal, moderat, konservatif dan nonmuslim. Ternyata hanya 6,2% dari total responden (2500) yang lebih suka memilih kandidat perempuan, 66,5 %lebih suka memilih kandidat laki-laki, 21,4 % tidak mempermasalahkan jender, 3,6% menjawab tidak tahu, dan 0,45 tidak menjawab.
Dengan pertanyaan mengapa mereka tidak memilih kandidat perempuan, jawaban yang muncul sebagai berikut. 34,7% menganggap bahwa umumnya/budayanya lelakilah yang menjadi pemimpin, 34,0% menjawab kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga, 31,2% menganggap kemampuan perempuan masih di bawah laki-laki, 20,9% menjawab perempuan kurang memiliki pengalaman memimpin, 16,7% faktor ajaran agama, 9,6% laki-laki tegas dan berani mengambil keputusan, 3,7% laki-laki lebih bijaksana, 2,6% laki-laki kuat atau mampu, lainnya sejumlah 1,4%, 1,7% tidak tahu dan 0,8% tidak menjawab.
Dari data di atas kesimpulan yang dapat kita ambil adalah perjuangan perempuan untuk meningkatkan perannya di dunai politik ternyata amat tidak mudah. Paling tidak perempuan telah kalah start dibanding laki-laki. Namun tentunya peluang tidak tertutup sama sekali. Para perempuan yang terjun di kancah politik semestinya menyiapkan diri, membangun jaringan ke dalam dan keluar dengan lebih baik dan terus menerus berupaya mendekati masyarakat pemilih dengan mengembangkan berbagai isu yang strategis.
Perhatian akademisi dan LSM pemerhati perempuan yang terus-menerus mensuport pengambil kebijakan agar masalah ini lebih terperhatikan, amat membantu. Namun, ada hal-hal yang amat spesifik yang bisa saja terjadi di internal partai yang itu ternyata kontaproduktif dengan segala upaya di atas. Perlu dikembangkan kesadaran dalam benak politisi perempuan, bahwa upaya-upaya strategis yang mereka lakukan adalah investasi politik, yang hasilnya suatu saat dapat mereka dan perempuan lainnya nikmati, juga dapat dinaikmati warga bangsa lainnya.
Kiprah Gerakan Muslimah Dalam Politik
Kiprah politik muslimah tentu saja bukan hanya dalam ruang lingkup lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun Yudikatif. Tetapi politik dalam arti yang sebenarnya sebagaimana yang didefinisikan al Mawardi adalah mengendalikan dunia agar tidak menyimpang dari agama.
Dalam hal ini, pergerakan muslimah – sebagai bagian dari gerakan dakwah – memiliki peluang untuk melahirkan arus penegasan kembali identitas dan ideologi Islam, serta secara konkrit mewujudkan cita-cita siyasahnya ke pentas kehidupan. Ini adalah pengejawentahan tanggung jawab muslimah sebagai kontributor perbaikan kehidupan bangsa.
Pergerakan muslimah diharapkan mampu mengeluarkan masyarakat dari jaringan kooptasi dan intervensi negara yang terlalu mendalam, sehingga memiliki akses kontrol dan kritik sosial terhadap lembaga-lembaga negara, serta memiliki keberdayaan dalam proses pengambilan kebijakan yang dekat dengan nilai-nilai Rabbani.
Di sisi lain, pergerakan muslimah juga diharapkan mampu menjadi kekuatan transformasi untuk menumbuhkan struktur dan tatanan sosial yang lebih baik, partisipatif, dan terbuka. Dengan bingkai paradigma transformatif ini, insyaAllah upaya yang dilakukan akan menjadi realistis.
Apa yang harus dilakukan dan apa yang dibutuhkan para politisi muslimah dalam kehidupan politik?
1. Salah satu peran yang harus dilakukan adalah melakukan pendidikan politik. Mensosialisasikan nilai, sikap, prinsip, perilaku, dan tujuan politik yang sesuai dengan konsep Islam.
2. Memahami bahwa politik bukan hanya berkaitan dengan negara saja, tetapi juga konflik, norma, ketentuan, nilai, gejala dan berbagai masalah sosial seperti ketidakadilan, kemiskinan, dll.
3. Pembentukan opini serta pengelolaan isu publik baik lewat media massa atau lainnya.
4. Mengembangkan model komunikasi politik beretos makna, yang melihat proses komunikasi bukan pada aspek sumber tetapi justru dari makna atau kontek yang disampaikan sumber tersebut.
5. Mengembangkan management by obyektive di bidang komunikasi politik, yang bertujuan untuk menempatkan seluruh informasi yang ada di masyarakat yang bersumber dari berbagai pihak lebih didasarkan pada fakta dan bukan rekayasa.
6. Belajar banyak hal dari siapapun dan dari manapun, karena perubahaan-perubahan yang bergerak cepat di luar prediksi melampaui kemampuan dan kekuatan kita.
Realita Sebagai Tantangan
Di balik kiprah muslimah dalam kancah politik ada realita persoalan yang harus dihadapi sebagai sebuah konsekwensi. Tanggung jawab muslimah sebagai istri dari suaminya dan ibu dari anak-anaknya tentunya tidak jarang terabaikan. Belum lagi komunitas publik yang harus dihadapi masih sangat jauh dari nilai-nilai Islam, di mana intensitas interaksinya rawan dengan fitnah.
Tantangan lain yang tidak kalah hebatnya, adalah tuntutan publik akan perannya sebagai politisi praktis untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Sehingga mengharuskannya memiliki kredibilitas dan kapabilitas agar amanah yang diembannya bisa terlaksana secara maksimal.
Demikianlah, tugas muslimah memang berat. Di satu sisi dia harus memerankan tugas domistik `kewanitaan`nya, tapi di sisi lain ada peran strategis yang harus dimainkan yaitu perbaikan masyarakat. Untuk memikul keduanya secara proporsional tidaklah mudah. Sehingga perlu kerja yang sistematis dalam bingkai amal jama`i.
Posting Komentar