Islamedia - Untuk pertama kalinya sejah tergulingnya Hosni Mubarak, Mesir mengadakan Pemilihan Umum. Proses pemilihan terjadi secara lancar, nampak terlihat dari sntrean pemilih tampak di semua tempat pemungutan suara sejak fajar.
Pesta demokrasi itu merupakan bagian dari sejarah Mesir setelah revolusi rakyat menggulingkan Mubarak. Namun, semangat perubahan di negeri itu dibayangi ketidakpercayaan publik pada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) yang berkuasa saat ini. Sebanyak 17 juta rakyat Mesir memiliki hak suara dalam pemilu parlemen tahap pertama, dari tiga tahapan untuk memilih anggota majelis rendah. Pemilu akan berakhir pada 11 Januari.Dengan sistem pemilu yang kompleks, pemilih memberikan suaranya untuk partai dan setiap kandidat.
”Ini merupakan pemilu pertama yang sebenarnya dalam 30 tahun.Rakyat Mesir sedang membuat sejarah,” kata Walid Atta, 34, kepada Reuters. Insinyur itu antre di tempat pemungutan suara yang berada di sebuah sekolah di Alexandria. Sembilan bulan sejak berakhirnya 30 tahun rezim Mubarak, perubahan politik di Mesir tidak kunjung memuaskan rakyat.Sejumlah pihak menuduh penguasa militer saat ini lebih fokus mempertahankan kekuasaan daripada mempercepat transformasi demokrasi ke pemerintahan sipil.
Protes yang digelar pekan lalu berujung pada bentrok berdarah yang menewaskan 42 orang, sehingga memaksa SCAF menjanjikan pemerintahan sipil pada Juli setelah pemilu parlemen dan pemilu presiden yang akan digelar pada Juni.Rencana ini lebih cepat dari jadwal sebelumnya. Tidak ada laporan terjadinya kekerasan saat pemilu kemarin. Namun, sempat terjadi kericuhan antarpemilih perempuan di salah satu tempat pemungutan suara di Alexandria yang telat dibuka karena kertas suara belum tiba.
Sedikitnya 1.000 orang terlihat antre di sebuah tempat pemungutan suara di distrik Zamalek,Kairo tengah,saat pemungutan suara dibuka pada pukul 08.00 waktu setempat. Antrean memanjang di sekitar blok tersebut.”Kami sangat senang berada di sini dan menjadi bagian dari pemilu,” ujar Wafa Zaklama, 55, yang memberikan suara pertama kali dalam pemilu parlemen tersebut. Meski hujan mengguyur Alexandria, kota terbesar kedua di Mesir,pria dan wanita tetap berada dalam antrean terpisah.” Saya di sini untuk memberikan suara saya.Ini kewajiban nasional saat krisis,”ujar Abdullah Metwali, 55, yang memberikan suara sebelum kerja.
Pemisahan antrean antara wanita dan pria di Alexandria dan banyak tempat lainnya, menunjukkan mayoritas muslim konservatif di Mesir.Adapun Kristen Koptik meliputi 10% populasi dari total lebih dari 80 juta jiwa penduduk. Spanduk-spanduk kampanye milik partai-partai Islam, seperti Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi pada Persaudaraan Muslim (IM),Partai Nur Salafi,dan Partai Wasat yang beraliran moderat, tampak terpasang di jalanan. Polisi berjaga di setiap tempat pemungutan suara untuk memastikan keamanan.
Partai-partai Islam yang pada era rezim Mubarak mendapat banyak tekanan, menganggap pemilu kali ini kesempatan masuk pentas politik yang sebelumnya di luar jangkauan mereka. Sejumlah demonstran sempat bertahan di Lapangan Tahrir, Kairo.Tapi setelah hujan lebatkemarinmalam, hanya beberapa pengunjuk rasa yang masih menginap di tenda-tenda. Direktur riset di Doha BrookingsCenter,ShadiHamid, menilai pemilu itu merupakan catatan sejarah pertama transisidemokrasidiMesir.” Inijuga akan memberitahukan kita seberapa banyak rakyat Mesir berinvestasi dalam proses politik ini.
Jika partisipasi pemilih rendah, ini berarti di sana ada ketidakpuasan antara rakyat Mesir dan mereka yang tidak percaya bahwa perubahan nyata mungkin dilakukan melalui proses pemilu,”tuturnya. Kondisi awal menunjukkan rakyat Mesir antusias dengan pemilu yang diharapkan membawa perubahan, tidak seperti pemilu di era Mubarak.Majelis rendah parlemen mendatang akan menjadi badan yang anggotanya dipilih untuk pertama kali sejak Mubarak terguling. Parlemen itu diharapkan dapat mengurangi monopoli kekuasaan militer.
Namun,sebagian pihak merasa pesimistis dengan perubahan politik di Mesir setelah mendengar komentar anggota SCAF Jenderal Mamdouh Shahin yang menjelaskan, parlemen baru tidak akan memiliki hak untuk mengganti pemerintahan yang dipilih militer dengan menggunakan kekuasaan ”presidensial”. Di pinggiran Kairo, Amir Makar, 23, menyatakan turut berpartisipasi dalam pemilu, tapi tidak banyak berharap tentang masa depan Mesir.
”Setelah komentar Shahin dan berbagai kejadian pekan ini, saya sinis dengan semuanya,” katanya kepada Reuters. [sindo/syarifudin]
Pesta demokrasi itu merupakan bagian dari sejarah Mesir setelah revolusi rakyat menggulingkan Mubarak. Namun, semangat perubahan di negeri itu dibayangi ketidakpercayaan publik pada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) yang berkuasa saat ini. Sebanyak 17 juta rakyat Mesir memiliki hak suara dalam pemilu parlemen tahap pertama, dari tiga tahapan untuk memilih anggota majelis rendah. Pemilu akan berakhir pada 11 Januari.Dengan sistem pemilu yang kompleks, pemilih memberikan suaranya untuk partai dan setiap kandidat.
”Ini merupakan pemilu pertama yang sebenarnya dalam 30 tahun.Rakyat Mesir sedang membuat sejarah,” kata Walid Atta, 34, kepada Reuters. Insinyur itu antre di tempat pemungutan suara yang berada di sebuah sekolah di Alexandria. Sembilan bulan sejak berakhirnya 30 tahun rezim Mubarak, perubahan politik di Mesir tidak kunjung memuaskan rakyat.Sejumlah pihak menuduh penguasa militer saat ini lebih fokus mempertahankan kekuasaan daripada mempercepat transformasi demokrasi ke pemerintahan sipil.
Protes yang digelar pekan lalu berujung pada bentrok berdarah yang menewaskan 42 orang, sehingga memaksa SCAF menjanjikan pemerintahan sipil pada Juli setelah pemilu parlemen dan pemilu presiden yang akan digelar pada Juni.Rencana ini lebih cepat dari jadwal sebelumnya. Tidak ada laporan terjadinya kekerasan saat pemilu kemarin. Namun, sempat terjadi kericuhan antarpemilih perempuan di salah satu tempat pemungutan suara di Alexandria yang telat dibuka karena kertas suara belum tiba.
Sedikitnya 1.000 orang terlihat antre di sebuah tempat pemungutan suara di distrik Zamalek,Kairo tengah,saat pemungutan suara dibuka pada pukul 08.00 waktu setempat. Antrean memanjang di sekitar blok tersebut.”Kami sangat senang berada di sini dan menjadi bagian dari pemilu,” ujar Wafa Zaklama, 55, yang memberikan suara pertama kali dalam pemilu parlemen tersebut. Meski hujan mengguyur Alexandria, kota terbesar kedua di Mesir,pria dan wanita tetap berada dalam antrean terpisah.” Saya di sini untuk memberikan suara saya.Ini kewajiban nasional saat krisis,”ujar Abdullah Metwali, 55, yang memberikan suara sebelum kerja.
Pemisahan antrean antara wanita dan pria di Alexandria dan banyak tempat lainnya, menunjukkan mayoritas muslim konservatif di Mesir.Adapun Kristen Koptik meliputi 10% populasi dari total lebih dari 80 juta jiwa penduduk. Spanduk-spanduk kampanye milik partai-partai Islam, seperti Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) yang berafiliasi pada Persaudaraan Muslim (IM),Partai Nur Salafi,dan Partai Wasat yang beraliran moderat, tampak terpasang di jalanan. Polisi berjaga di setiap tempat pemungutan suara untuk memastikan keamanan.
Partai-partai Islam yang pada era rezim Mubarak mendapat banyak tekanan, menganggap pemilu kali ini kesempatan masuk pentas politik yang sebelumnya di luar jangkauan mereka. Sejumlah demonstran sempat bertahan di Lapangan Tahrir, Kairo.Tapi setelah hujan lebatkemarinmalam, hanya beberapa pengunjuk rasa yang masih menginap di tenda-tenda. Direktur riset di Doha BrookingsCenter,ShadiHamid, menilai pemilu itu merupakan catatan sejarah pertama transisidemokrasidiMesir.” Inijuga akan memberitahukan kita seberapa banyak rakyat Mesir berinvestasi dalam proses politik ini.
Jika partisipasi pemilih rendah, ini berarti di sana ada ketidakpuasan antara rakyat Mesir dan mereka yang tidak percaya bahwa perubahan nyata mungkin dilakukan melalui proses pemilu,”tuturnya. Kondisi awal menunjukkan rakyat Mesir antusias dengan pemilu yang diharapkan membawa perubahan, tidak seperti pemilu di era Mubarak.Majelis rendah parlemen mendatang akan menjadi badan yang anggotanya dipilih untuk pertama kali sejak Mubarak terguling. Parlemen itu diharapkan dapat mengurangi monopoli kekuasaan militer.
Namun,sebagian pihak merasa pesimistis dengan perubahan politik di Mesir setelah mendengar komentar anggota SCAF Jenderal Mamdouh Shahin yang menjelaskan, parlemen baru tidak akan memiliki hak untuk mengganti pemerintahan yang dipilih militer dengan menggunakan kekuasaan ”presidensial”. Di pinggiran Kairo, Amir Makar, 23, menyatakan turut berpartisipasi dalam pemilu, tapi tidak banyak berharap tentang masa depan Mesir.
”Setelah komentar Shahin dan berbagai kejadian pekan ini, saya sinis dengan semuanya,” katanya kepada Reuters. [sindo/syarifudin]
Sumber: islamedia.web.id
Posting Komentar