Oleh Cahyadi T |
Di antara krisis yang tengah terjadi saat ini di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia adalah krisis keteladanan. Menjadi sesuatu yang sangat paradoks, bahwa para pemimpin dan elit bangsa ‘berbusa-busa’ berbicara tentang ideologi negara, tentang falsafah hidup bangsa, tentang moral dan seterusnya, namun menampilkan sisi-sisi yang tidak mencerminkan keteladanan dalam kehidupan.
Dalam konteks keteladanan pemimpin, Kouzes dan Posner (2007) menyatakan ada lima praktik keteladanan, yaitu mencontohkan cara (Model the Way), menginspirasi visi bersama (Inspire a Shared Vision), menantang proses (Challenge the Process), memampukan orang lain untuk bertindak (Enable Others to Act), dan menyemangati jiwa (Encourage the Heart)
Dalam kaitannya dengan model the way Kouzes dan Posner berpandangan bahwa memimpin berarti bahwa anda harus menjadi contoh yang baik, dan mewujudkan apa yang anda katakan. Gelar yang dimiliki seseorang merupakan pemberian, akan tetapi kehormatan hanya dapat dicapai melalui tingkah laku seseorang.
Kouzes dan Posner mengatakan bahwa perbuatan pemimpin jauh lebih penting dari perkataannya. Pemimpin harus menunjukkan contoh terlebih dahulu dalam tindakan sehari-hari dan mempertunjukkan komitmen yang mendalam atas apa yang diyakininya. “Kepemimpinan contoh” sangat cocok diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan keteladanan
Para pejabat pemerintahan pusat dan daerah bertanggung jawab untuk menciptakan keteladanan moral yang positif, karena masyarakat sangat terpengaruh oleh perilaku pejabat. Jika pejabat korup, maka masyarakat mudah meniru dan menjadikannya sebagai legitimasi. Jika pejabat melanggar aturan, akan membuat masyarakat mencontoh pelanggaran tersebut. Semua pejabat pemeritahan harus memiliki standar moral yang membuat bisa dijadikan teladan bagi seluruh warga masyarakat.
Secara tradisional, pemimpin di Jepang memilih harakiri atau bunuh diri jika terlanjur melakukan tindak kesalahan. Hal ini adalah contoh tanggung jawab keteladanan yang sangat besar dalam diri para pemimpin. Tentu saja tidak untuk ditiru di Indonesia dalam hal bunuh dirinya, namun diteladani dalam perasaan tanggung jawabnya. Hal ini bisa dikuatkan melalui kode etik pejabat pemerintahan dan ditindaklanjuti dengan penegakan disiplin kerja dengan reward and punishment yang ketat. Pemberian sanksi administratif terhadap pelanggaran moral juga diperlukan dalam upaya menegakkan keteladanan.
Teladan yang pernah dipraktikkan oleh Benjamin Franklin mungkin bisa menjadi salah satu inspirasi bagi setiap individu yang mau berkehendak baik untuk memperbaiki keadaan di negeri ini[3]. Ternyata kedisplinan adalah kunci membentuk keteladanan dalam diri setiap orang. Para tokoh agama, tokoh masyarakat, pemimpin negara, elit politik, dan seluruh komponen bangsa, harus memulai melakukan latihan disiplin untuk membentuk keteladanan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Benjamin Franklin melatih 13 kecakapan diri. Ia mempraktikkan kesederhanaan dengan tidak makan dan minum terlalu banyak. Praktik diam dengan berbicara hanya tentang yang bermanfaat bagi orang lain, tidak omong kosong. Tertib dan teratur untuk melatih diri terbiasa meletakkan hal dan barang pada kedudukan dan tempatnya masing-masing, serta membagi waktu untuk semua urusannya. Ia melatih keteguhan hati dalam melaksanakan apa yang semestinya dilakukan dan telah diputuskan.
Praktik hemat diwujudkan dengan tidak mengeluarkan biaya selain untuk hal-hal yang baik bagi orang lain dan diri sendiri. Ia rajin dengan tidak membiarkan waktunya kosong, menggunakan waktunya dengan mengerjakan hal-hal yang berguna. Sikap jujur dilatihnya dengan tidak melakukan tipu muslihat yang menyakitkan hati, berpikir bersih dan jernih serta berbicara tentang yang benar saja. Keutamaan keadilan dibangunnya dengan tidak menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang tidak adil atau dengan melakukan hal-hal yang merupakan kewajibannya.
Sikap moderat dilatihnya dengan menghindari sikap hal-hal yang ekstrem, dan selalu bersabar terhadap hal-hal yang kurang adil atas dirinya. Ia melatih kebersihan diri dengan tidak mentolerir hal-hal yang tidak bersih dalam badan, pakaian atau rumah. Praktik ketenangan diri direalisasikannya dengan tidak gugup atas hal-hal remeh atau kejadian buruk yang biasa atau tak terhindarkan. Ia meraih kemurnian dengan menggunakan seks hanya untuk kesehatan atau keturunan, tidak berlebihan sehingga bisa merusak reputasi diri sendiri dan ketenangan orang lain. Ia rendah hati terhadap siapa pun, entah kaya atau miskin, pejabat atau rakya biasa.Ketigabelas pelajaran Franklin tersebut membuat dia berhasil memajukan negara AS. Ia menjadi teladan yang patut disegani di negerinya.
sumber: http://cahyadi-takariawan.web.id
Posting Komentar