oleh: Andrian Kamil |
dakwatuna.com – Sampai hari ini Islam terus mengalami beberapa perkembangan, salah satu perkembangan tersebut adalah di bidang politik, artinya bagaimana kita seharusnya saat ini sebagai muslim memandang kondisi politik demokrasi yang ada di Indonesia. Berkaitan dengan hal ini ada sebuah pertanyaan yang menarik bagi kita umat muslim, “sebenarnya apa kontribusi Islam dalam konteks bernegara dan berbangsa saat ini?”, pertanyaan ini tentu saja tidak hanya ditujukan kepada kelompok-kelompok organisasi masyarakat Islam maupun Partai Politik yang berasaskan ideologi Islam, tetapi juga ditujukan kepada diri kita sendiri sebagai pribadi seorang mukmin. Karena sebenarnya masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab dalam kehidupan ini baik dari segi bagaimana kita memandang permasalahan yang lahir, melakukan tindakan yang tepat dan menerima kenyataan dalam hasil dari sebuah proses, di manapun dan kapan pun itu. Perkembangan ini juga sejatinya membuat kita sadar tentang bagaimana kita di satu sisi sebagai umat muslim baik yang ada di ormas-ormas dan partai-partai Islam memandang politik demokrasi lebih sebagai institusi dan infrastruktur politik ketimbang pengejawantahan suatu nilai-nilai yang ditafsirkan sendiri atau bersifat pribadi. Hal ini sangat diperlukan untuk menuju Indonesia yang madani, di satu sisi menerapkan objektivitas Islam dalam ruang gerak publik yang berbasis asas manfaat dan rasionalitas, lalu di sisi lain menafsirkan hidup berbangsa dan bernegara sebagai sekumpulan nilai baru yang hidup dalam masyarakat bukan menafsirkan secara ideologis sehingga merubah pandangan bahwa Islam tidak fleksibel dan universal.
Pada hakikatnya, Islam mengajarkan kepada kita untuk hidup bersama-sama (berjamaah) dan menyelesaikan segala urusan-urusan dengan mekanisme yang telah diatur oleh Islam. Setidaknya hidup berjamaah dalam kehidupan saat ini dapat tercerminkan dengan lahirnya kelompok-kelompok, organisasi maupun partai-partai politik yang berasaskan Islam. Dalam hidup berjamaah tentu tidak semua orang di dalamnya memiliki pemikiran dan cara pandang yang sama dalam menghadapi masalah. Maka dari itu Islam mengajarkan kita untuk senantiasa melakukan musyawarah sebagai mekanisme dalam setiap memutuskan perkara-perkara yang terjadi di dalamnya.
Sedangkan permasalahan seperti perang adalah peristiwa yang biasanya banyak menuntut kaum muslimin untuk melakukan musyawarah. Sebut saja pada saat perang Badar, dimana beberapa kali Rasulullah mengadakan musyawarah. Musyawarah pertama dilakukan pada saat sebelum perang Badar, lalu musyawarah kedua dilakukan pada saat mengatur strategi perang dan ketiga musyawarah tersebut dilakukan setelah perang usai. Tidak hanya perang Badar saja, dalam sejarahnya pada saat perang Uhud dan perang Hudaibiyah pun Rasulullah mengadakan musyawarah. Seperti itulah Islam mengajarkan kita hidup dalam berjamaah dan memutuskan segala sesuatu permasalahan dengan cara musyawarah. Hasil dari keputusan musyawarah menjadi penting, karena peristiwa itu melahirkan hukum yang baru dengan kekuatan yang mengikat secara Islam. Musyawarah menjadi metodologi proses pengambilan keputusan yang penting dalam perkembangan Islam saat ini, selain itu musyawarah juga merupakan bentuk rekonstruksi hukum yang bersandarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas, penalaran dan analogi.
Proses-proses tersebut sampai saat ini masih digunakan oleh banyak ormas-ormas dan partai-partai Islam dalam hal proses pengambilan keputusan. Peristiwa tersebut menghantarkan kita untuk mengingat pada salah seorang sosok warga Jakarta ketika sebuah momentum demokrasi yang bernama Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta akan dilangsungkan Juli 2012 nanti. Ir, H. Triwisaksana, M.Sc atau yang lebih akrab disapa dengan Bang Sani adalah salah satu tokoh yang akan dicalonkan menjadi salah satu kandidat kepala daerah yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera, salah satu partai politik yang berasaskan Islam. Menjelang Ramadhan 2011 banyak terdapat spanduk-spanduk, baliho dan poster besar yang menghiasi sudut kota Jakarta. Isi dari spanduk tersebut tak lain adalah ucapan selamat sekaligus salah bentuk kepedulian dari seorang Bang Sani untuk warga Jakarta.
Hingga akhirnya pada tanggal 19 Maret 2012 kemarin, adalah batas waktu atau deadline pendaftaran bagi para peserta bakal calon Gubernur DKI Jakarta. Pada saat menjelang detik-detik akhir penyerahan berkas dokumen, ternyata Bang Sani sebagai salah satu sosok yang sudah mulai dikenal masyarakat Jakarta itu tidak jadi mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal ini tentu membuat sebagian warga Jakarta sedikit bertanya-tanya, mengapa proses yang telah dilakukan sejauh ini, berupa keterlibatan aktif secara langsung di masyarakat pada bidang sosial, keagamaan dan membaur di masyarakat baik dengan menghadiri beberapa acara kegiatan sosial, menjadi pembicara di beberapa majelis ta’lim dan pembicara kampus di Jakarta tiba-tiba tidak jadi di usung oleh partainya. Bang Sani mengutarakan bahwa mekanisme partai dan pertimbangan-pertimbangan matang dari suatu hasil musyawarah yang dilakukan oleh pimpinan-pimpinan partainya lah yang mengharuskan dirinya untuk mengurungkan niatnya menjadi salah satu kandidat kepala daerah di DKI Jakarta.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada salah seorang sahabat kala itu, Usamah Bin Zaid namanya. Sejak lahir Usamah telah hidup dekat dengan keluarga Rasulullah. Sejak usianya beranjak remaja Usamah telah banyak terlibat dalam berbagai macam peperangan, kala itu usia Usamah sekitar 16 tahun dan sudah ikut dalam perang khandaq sebagai prajurit, selanjutnya pada saat perang Hunain Usamah juga ikut tentu kala itu Usamah sudah memiliki bekal yang lebih baik lagi dikarenakan pengalaman-pengalaman perang yang sebelumnya telah ia ikuti. Ketika mulai beranjak dewasa Usamah mengikuti sebuah perang mu’tah, dimana dia di bawah komando langsung ayahnya yang bernama Zaid bin Haritsah. Sampai akhirnya pengalaman pahit yang dialami oleh Usamah dengan melihat secara langsung ayahnya tewas terbunuh tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melaksanakan kewajibannya menegakkan Islam kala itu.
Semasa hidupnya mengikuti beberapa peperangan Usamah pernah dipimpin sendiri Zaid bin Haritsah selaku ayahnya sendiri, Ja’far bin Abi Thalib, Abdullah bin Rawahah sampai dengan Khalid bin Walid. Hingga akhirnya Rasulullah mengangkatnya sebagai panglima pasukan saat akan menaklukkan bangsa Ruum pada saat itu. Dari sepenggal kisah Usamah bin Zaid kita bisa mengambil sedikit kesimpulan dan beberapa contoh keteladanan seorang mukmin yang taat dan penuh kontribusi perjuangan melawan yang bathil dan kezhaliman saat itu, selain itu Usamah memberikan contoh agar selalu menjalankan tugasnya dengan baik saat menjadi prajurit biasa maupun saat sudah menjadi pemimpin. Usamah selalu taat kepada siapa pun pemimpin nya pada saat itu.
Nilai-nilai seperti itulah yang saat ini bisa kita lihat dari sosok seorang Bang Sani, mengikuti keputusan yang sudah menjadi kewajiban dan mentaati apa yang sudah menjadi amanat. Sama halnya pada saat mulai masuk menjadi mahasiswa pada tahun 1989 Bang Sani sudah aktif di berbagai kegiatan-kegiatan lembaga dakwah yang ada di kampusnya Universitas Trisakti pada saat itu. Selain itu juga pernah aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan lainnya seperti Himpunan Mahasiswa Islam dan sampai akhirnya bergabung pada sebuah partai politik dimana kegiatan dakwah nya terus berjalan tidak berhenti. Karena hal mendasar yang harus kita pahami adalah di manapun kita berada dan apapun organisasi yang kita jalani selama di sana masih terdapat nafas Islam hendaknya kita tetap menjaga semangat.
Ikhtiar dalam harapan, istiqamah dalam menjalankan, dan tawakal dalam penerimaan. Terima kasih Bang Sani yang telah memberikan keteladanan bagi kami sekaligus etika dan warna baru dalam berpolitik. Salam.
Posting Komentar