News Update :

Kebijakan Pendidikan Nasional Tak Miliki Arah Yang Jelas

Sabtu, 21 April 2012

Oleh: Raihan Iskandar
Aleg DPR RI komisi X
Laporan UNESCO, Lembaga Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB soal Indeks Pembangunan Pendidikan dalam EFA (Education for All) Global Monitoring Report 2011: Di Balik Krisis: Konflik dan Militer yang dikeluarkan Maret 2011 lalu memperlihatkan peringkat Indonesia turun dari peringkat ke-65 tahun lalu menjadi peringkat ke-69 dari 127 negara di dunia.

Data UNESCO menyebutkan, di tingkat SD, dari  31,05 juta siswa, sekitar 1,7 persennya putus sekolah atau sekitar 527 ribu siswa dan 18,4 persen tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya atau sekitar 5,7 juta siswa.  Pada satuan sekolah menengah pertama (SMP), dari jumlah 12,69 juta siswa, 1,9 persen putus sekolah atau sekitar  241 ribu, dan 30,1 persen di antaranya tidak dapat melanjutkan ke tingkat sekolah menengah atas (SMA) atau sekitar 3,8 juta.

Jika dikaitkan dengan program Wajar 9 tahun, maka jumlah siswa yang tidak menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP mencapai 10,268 juta siswa. Angka yang cukup tinggi ini bisa mengancam keberlangsungan program penuntasan Wajar 9 tahun. Tingginya angka siswa yang tidak menuntaskan program Wajar 9 tahun ini disebabkan terutama karena ketidakmampuan ekonomi keluarga.
Fakta tersebut menunjukkan, ada persoalan mendasar yang belum sepenuhnya diselesaikan oleh Pemerintah, yaitu akses pendidikan. Pokok persoalan yang terjadi adalah masih terbatasnya akses pendidikan yang terjangkau bagi semua warga negara usia sekolah. Sejatinya, persoalan inilah yang harus disasar oleh Pemerintah, dengan cara memberikan akses yang seluas-luasnya bagi semua warga negara untuk bisa menikmati layanan pendidikan.

Ini menunjukkan bahwa Pemerintah belum sepenuhnya mewujudkan terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional. Padahal, Pemerintah, dalam hal ini Kemendiknas telah membuat sebuah Renstra Kementerian 2014 yang menekankan terwujudnya layanan pendidikan untuk semua warga negara, tanpa kecuali. Ini artinya, Pendidikan gratis yang didengung-dengungkan selama ini ternyata juga hanya pepesan kosong. Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, sebagaimana amanat UU Sisdiknas pasal 11 ayat (1) dan (2) tak berdampak signifikan. Program Wajib Belajar yang mengharuskan Pemerintah membiayai penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana tertera dalam konstitusi kita, UUD Negara RI tahun 1945 pasal 31 ayat 2, nyatanya masih harus ditanggung juga oleh masyarakat miskin. Kewajiban negara untuk memberikan layanan masyarakat justru masih dibebankan oleh banyak pungutan yang terjadi di sekolah-seolah.

Ironisnya, persoalan akses layanan pendidikan dan penuntasan program Wajar 9 tahun ini pun dihambat oleh sejumlah instrumen kebijakan Pemerintah. Kebijakan Pemerintah soal Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah sangat berpotensi menghambat penuntasan program wajib belajar 9 tahun. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional, khususnya pasal 16 ayat (1) sangat membuka peluang adanya pungutan terhadap para peserta didik. Peluang inilah yang dipakai oleh sejumlah sekolah bertitel RSBI/SBI untuk mematok tarif setinggi-tingginya kepada peserta didik yang tarifnya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Alhasil, RSBI pun menjadi sarana seleksi status sosial dan menciptakan segregasi sosial di kalangan masyarakat.

Persoalan lain yang juga menggambarkan tak jelasnya arah pendidikan kita adalah kebijakan soal Ujian Nasional (UN). Meskipun formula UN sudah dimodifikasi, tetap saja UN menjadi momok yang menakutkan bagi siswa, sekolah dan Pemerintah Daerah. Kecurangan yang masih terjadi dalam penyelenggaraan UN tahun 2011 ini memperlihatkan kepada kita bahwa kecurangan tersebut bersifat struktural dan sistemik. Terdapat persoalan kultur “bapakisme” dan “prestisius” yang bermuara pada munculnya sikap pragmatisme yang menggejala dalam dunia pendidikan kita. Kebijakan UN, dalam praktek, menstimulus banyak pihak untuk berlomba-lomba mencapai target setinggi-tingginya dengan berbagai cara, termasuk dengan melakukan praktek perjokian dan pembocoran soal.

Realitas ini tentu saja bertolak belakang dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertera dalam UU Sisdiknas Pasal 3 yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dua kebijakan dalam dunia pendidikan tersebut menggambarkan betapa arah dan kebijakan pendidikan nasional belum memiliki arah dan keterpaduan yang jelas.

Artikel Terkait

Share this Article on :

Posting Komentar

 

© Copyright DPC PKS Lawang 2010 -2011 | Redesign by PKS Lawang | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.