Laporan UNESCO, Lembaga Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
PBB soal Indeks Pembangunan Pendidikan dalam EFA (Education for All)
Global Monitoring Report 2011: Di Balik Krisis: Konflik dan Militer yang
dikeluarkan Maret 2011 lalu memperlihatkan peringkat Indonesia turun
dari peringkat ke-65 tahun lalu menjadi peringkat ke-69 dari 127 negara
di dunia.
Data UNESCO menyebutkan, di tingkat SD, dari 31,05 juta siswa,
sekitar 1,7 persennya putus sekolah atau sekitar 527 ribu siswa dan 18,4
persen tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya atau sekitar
5,7 juta siswa. Pada satuan sekolah menengah pertama (SMP), dari jumlah
12,69 juta siswa, 1,9 persen putus sekolah atau sekitar 241 ribu, dan
30,1 persen di antaranya tidak dapat melanjutkan ke tingkat sekolah
menengah atas (SMA) atau sekitar 3,8 juta.
Jika dikaitkan dengan program Wajar 9 tahun, maka jumlah siswa yang
tidak menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SMP mencapai 10,268 juta
siswa. Angka yang cukup tinggi ini bisa mengancam keberlangsungan
program penuntasan Wajar 9 tahun. Tingginya angka siswa yang tidak
menuntaskan program Wajar 9 tahun ini disebabkan terutama karena
ketidakmampuan ekonomi keluarga.
Fakta tersebut menunjukkan, ada persoalan mendasar yang belum
sepenuhnya diselesaikan oleh Pemerintah, yaitu akses pendidikan. Pokok
persoalan yang terjadi adalah masih terbatasnya akses pendidikan yang
terjangkau bagi semua warga negara usia sekolah. Sejatinya, persoalan
inilah yang harus disasar oleh Pemerintah, dengan cara memberikan akses
yang seluas-luasnya bagi semua warga negara untuk bisa menikmati layanan
pendidikan.
Ini menunjukkan bahwa Pemerintah belum sepenuhnya mewujudkan
terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional. Padahal, Pemerintah,
dalam hal ini Kemendiknas telah membuat sebuah Renstra Kementerian 2014
yang menekankan terwujudnya layanan pendidikan untuk semua warga
negara, tanpa kecuali. Ini artinya, Pendidikan gratis yang
didengung-dengungkan selama ini ternyata juga hanya pepesan kosong.
Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi, sebagaimana amanat UU Sisdiknas
pasal 11 ayat (1) dan (2) tak berdampak signifikan. Program Wajib
Belajar yang mengharuskan Pemerintah membiayai penyelenggaraan
pendidikan, sebagaimana tertera dalam konstitusi kita, UUD Negara RI
tahun 1945 pasal 31 ayat 2, nyatanya masih harus ditanggung juga oleh
masyarakat miskin. Kewajiban negara untuk memberikan layanan masyarakat
justru masih dibebankan oleh banyak pungutan yang terjadi di
sekolah-seolah.
Ironisnya, persoalan akses layanan pendidikan dan penuntasan program
Wajar 9 tahun ini pun dihambat oleh sejumlah instrumen kebijakan
Pemerintah. Kebijakan Pemerintah soal Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah sangat
berpotensi menghambat penuntasan program wajib belajar 9 tahun.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional, khususnya pasal 16 ayat
(1) sangat membuka peluang adanya pungutan terhadap para peserta didik.
Peluang inilah yang dipakai oleh sejumlah sekolah bertitel RSBI/SBI
untuk mematok tarif setinggi-tingginya kepada peserta didik yang
tarifnya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Alhasil, RSBI pun menjadi
sarana seleksi status sosial dan menciptakan segregasi sosial di
kalangan masyarakat.
Persoalan lain yang juga menggambarkan tak jelasnya arah pendidikan
kita adalah kebijakan soal Ujian Nasional (UN). Meskipun formula UN
sudah dimodifikasi, tetap saja UN menjadi momok yang menakutkan bagi
siswa, sekolah dan Pemerintah Daerah. Kecurangan yang masih terjadi
dalam penyelenggaraan UN tahun 2011 ini memperlihatkan kepada kita bahwa
kecurangan tersebut bersifat struktural dan sistemik. Terdapat
persoalan kultur “bapakisme” dan “prestisius” yang bermuara pada
munculnya sikap pragmatisme yang menggejala dalam dunia pendidikan kita.
Kebijakan UN, dalam praktek, menstimulus banyak pihak untuk
berlomba-lomba mencapai target setinggi-tingginya dengan berbagai cara,
termasuk dengan melakukan praktek perjokian dan pembocoran soal.
Realitas ini tentu saja bertolak belakang dengan tujuan
penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertera dalam UU Sisdiknas Pasal 3
yang menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Dua kebijakan dalam dunia pendidikan tersebut menggambarkan betapa
arah dan kebijakan pendidikan nasional belum memiliki arah dan
keterpaduan yang jelas.
Posting Komentar