BELAKANGAN
ini wajah bangsa Indonesia kembali diwarnai aksi demonstrasi penolakan
kenaikan harga BBM. Dalam aksi demo yang berlangsung di berbagai kota
di tanah air itu sebagian berjalan ricuh. Demonstran dan pihak keamanan
terlibat saling lempar batu yang akhirnya dibalas dengan tembakan dan
kejar-kejaran di antara keduanya.
Pemandangan seperti itu sebenarnya sudah biasa di Indonesia. Akan tetapi kali ini terlihat sangat istimewa karena boleh dikatakan cukup kompak dan dalam rangka satu tujuan utama, yaitu menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Sebuah aksi yang secara langsung melibatkan emosi dua unsur penting negara, yaitu rakyat dengan pejabat.
Pemerintah dengan kekuatan bersenjata nampaknya tetap tak berubah pikiran. Hal ini bisa dilihat dari kesigapan pemerintah dengan menurunkan kekuatan penuh aparat keamanan untuk mengontrol para demonstran.
Dalam logika pejabat, dalam hal ini pemerintah, menaikkan harga BBM dipandang sebagai keputusan yang harus dilaksanakan walaupun seluruh rakyat Indonesia harus menjerit keras karena ancaman kemiskinan yang menganga di depan mata. Pemerintah seolah tak punya telinga dengan keluh kesah rakyatnya sendiri.
Sikap pemimpin (pemerintah) yang seperti ini akan menimbulkan aksi yang lebih keras lagi dari rakyat. Sebab rakyat dalam hal ini tidak diperhtiungkan dan tidak diperhatikan dengan baik. Bahkan rakyat akan merasa selalu dikorbankan untuk kepentingan-
kepentingan kekuasaan.
Siapapun yang menjadi pemimpin, jika sikap dan perilaku terhadap rakyatnya justru tidak bersahabat pasti akan menuai banyak protes bahkan kebencian. Dan, tidak satu pun pemimpin di dunia ini yang mengabaikan rakyatnya sendiri, kecuali telah kehilangan hati nurani. Padahal makna pemimpin itu sendiri sejatinya adalah pelayan bukan juragan.
Tetapi bagaimanapun harus diakui, inilah produk demokrasi. Sebuah produk pandangan hidup yang melahirkan sistem tata negara yang menegasikan ilmu dan otoritas, termasuk otoritas nabi dan tentu otoritas Tuhan atau wahyu.
Pemandangan seperti itu sebenarnya sudah biasa di Indonesia. Akan tetapi kali ini terlihat sangat istimewa karena boleh dikatakan cukup kompak dan dalam rangka satu tujuan utama, yaitu menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Sebuah aksi yang secara langsung melibatkan emosi dua unsur penting negara, yaitu rakyat dengan pejabat.
Pemerintah dengan kekuatan bersenjata nampaknya tetap tak berubah pikiran. Hal ini bisa dilihat dari kesigapan pemerintah dengan menurunkan kekuatan penuh aparat keamanan untuk mengontrol para demonstran.
Dalam logika pejabat, dalam hal ini pemerintah, menaikkan harga BBM dipandang sebagai keputusan yang harus dilaksanakan walaupun seluruh rakyat Indonesia harus menjerit keras karena ancaman kemiskinan yang menganga di depan mata. Pemerintah seolah tak punya telinga dengan keluh kesah rakyatnya sendiri.
Sikap pemimpin (pemerintah) yang seperti ini akan menimbulkan aksi yang lebih keras lagi dari rakyat. Sebab rakyat dalam hal ini tidak diperhtiungkan dan tidak diperhatikan dengan baik. Bahkan rakyat akan merasa selalu dikorbankan untuk kepentingan-
kepentingan kekuasaan.
Siapapun yang menjadi pemimpin, jika sikap dan perilaku terhadap rakyatnya justru tidak bersahabat pasti akan menuai banyak protes bahkan kebencian. Dan, tidak satu pun pemimpin di dunia ini yang mengabaikan rakyatnya sendiri, kecuali telah kehilangan hati nurani. Padahal makna pemimpin itu sendiri sejatinya adalah pelayan bukan juragan.
Tetapi bagaimanapun harus diakui, inilah produk demokrasi. Sebuah produk pandangan hidup yang melahirkan sistem tata negara yang menegasikan ilmu dan otoritas, termasuk otoritas nabi dan tentu otoritas Tuhan atau wahyu.
Dari sinilah kita akan temui jawaban mengapa demokrasi dan para
pemimpin yang dihasilkan oleh sistem ini sebagian besar buta dan tuli
terhadap aspirasi dan nasib rakyatnya. Dan nampak begitu beringas
manakala jabatannya terasa digoyang, serta melakukan segala cara untuk
mendapatkan jabatan dan mempertahankannya selama-lamanya.
Jabatan yang benar-benar peduli yang lemah
Pandangan
yang keliru terhadap jabatan, menjadikan sebagian orang saat ini sering
asal pilih pemimpin. Asal bisa dikendalikan untuk memenuhi hasrat
politiknya, seseorang ditunjuk sebagai ini, sebagai itu. Sebaliknya
siapa yang dirasa tidak potensial secara mterial akan segera
ditinggalkan.
Dalam Islam tidaklah seperti itu. Seorang pemimpin
harus benar-benar selektif dalam memilih teman dekat, terkhusus kepada
orang-orang yang akan diajak bekerjasama dalam mensukseskan
kepemimpinannya, terutama dalam upaya mensejahterakan rakyat.
Akan fatal akibatnya jika seorang pemimpin menyerahkan jabatan kepada orang yang belum jelas kualitas imannya. Apalagi menyerahkan jabatan hanya karena hubungan kekeluargaan, kekerabatan, ataupun hal-hal yang tidak didasarkan pada ilmu dan keimanan.
Tirulah cara sahabat Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wassallam dalam memilih rekan dekat untuk mengisi jabatan umat. Sebelum memilih siapa yang layak mengisi jabatan strategis di masa kepemimpinannya, Khalifah Umar bin Khattab melakukan penelitian (Fit and Propertes) terhadap kualitas sahabat yang akan dipilihnya. Tentu tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pemimpin kontemporer yang hanya menggunakan teknik wawancara, uji kognitif dan penandatanganan surat komitmen.
Muhammad Syadid dalam bukunya, “Minhaju al-Qur’an fi al-Tarbiyah” mengisahkan cara Umar bin Khattab dalam menilai kualitas keimanan orang yang akan dipilih mendampinginya dalam memimpin umat.
Kala itu Umar bin Khattab mengujinya dengan memberikan sekantong uang dinar. Dari Sa’id bin Yarbu’ bin Malik, ia bercerita. Ketika Umar bin Khattab memegang uang sebanyak 400 dinar dalam sebuah kantong, beliau berkata kepada pelayannya; “Bawalah ini kepada Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, lalu tungguhlah beberapa saat, lihatlah apa yang diperbuatnya dengan uang ini!”
Pelayan pun berangkat. Sesampainya dikediaman Abu ‘Ubaidah, pelayan Umar berkata; “Amirul Mukminin memberi uang ini untuk kebutuhan engkau!” Abu ‘Ubaidah menjawab; “Semoga Allah merahmati beliau”.
Abu ‘Ubaidah langsung memanggil pelayan wanitanya; “Bawalah tujuh keping kepada si fulan, lima keping kepada si fulan, dan……”, hingga uang sejumlah 400 dinar itu tak bersisa. Pelayan Umar pun kembali dan melaporkan peristiwa itu kepadanya.
Kemudian dengan sejumlah uang yang sama, Umar kembali memerintahkan pelayannya untuk membawakannya kepada Muadz bin Jabal. “Berikan uang ini kepada Muadz dan tunggulah seperti yang kau lakukan kepada Abu ‘Ubaidah!”
“Semoga Allah merahmati Umar,” ucap Muadz setelah menerima sekantung uang dinar. Lantas Muadz langsung memanggil pelayannya untuk membagi-bagikan 400 dinar itu.
Muadz berkata kepada pelayannya, “Pergilah ke rumah si fulan dan berikan kepadanya sekian, kemudian ke rumah si fulan sekian, lalu ke fulan sekian……” hingga tiba-tiba datanglah istri Muadz seraya berkata, “Wallahi, kita juga orang miskin, berilah!” Maka Mu’adz memberikan sisa uang tersebut, dan ternyata tersisa dua dinar. Mendengar laporan pelayannya terkait perihal kedua sahabatnya itu gembiralah Umar bin Khattab karenanya. Umar pun berucap, “Mereka berdua benar-benar ikhwah (teman sejati dunia – akhirat)”.
Umar sangat selektif, cermat dan super hati-hati dalam memilih orang untuk menemaninya dalam memimpin. Ia tidak mau terjebak oleh penampilan lahiriah saja.Sebab tidak menutup kemungkinan penampilan lahiriah tidak mewakili penampilan batiniah yang sesungguhnya.
Ahmad bin Qais bercerita bahwa Umar pernah menahannya dalam jangka waktu satu tahun. Suatu saat Umar berkata, “Tahukah engkau mengapa aku menahanmu? Saya ingin mengujimu karena saya tahu secara lahiriah engkau baik. Saya ingin mengetahui, apakah batinmu pun baik, karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam telah mengingatkan kita akan perihal orang munafiq yang pandai bersilat lidah. Dan ternyata engkau tidak seperti itu, engkau benar-benar teman yang baik.”
Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan risalah Islam ini untuk
meluruskan pandangan manusia terhadap segala hal. Islam memberikan
petunjuk akan hakikat segala sesuatu, termasuk soal jabatan. Dalam Islam
jabatan bukanlah kedudukan yang menjanjikan kebahagiaan. Apabila
jabatan dipegang oleh orang yang buruk keimanannya, jelek
kredibilitasnya, maka kehancuran dunia akhirat telah mengintainya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam beserta sahabatnya telah memberikan contoh praktik bagaimana semestinya umat Islam menyikapi jabatan. Sekalipun sebagai khalifah rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam tidak pernah menikmati makanan-makanan lezat, fasilitas mewah, apalagi jaminan berupa anggaran rumah tangga. Beliau sering berpuasa karena tidak ada yang bisa dimasak.
Begitu pula Abu Bakar ra. Meskipun telah diamanahi
menjadi pelanjut kepemimpinan rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam,
Abu Bakar tetap mencari nafkah sendiri dengan berjualan di pasar.
Demikian pula halnya dengan Umar bin Khattab yang tak pernah dekat
kecuali dengan anak yatim, fakir miskin, dan orang-orang tertindas lagi
kesusahan.
Tetapi semua itu kini tidak berlaku di negeri ini. Saat ini jabatan dikejar-kejar sampai menghalalkan segala cara. Jabatan menjadi ajang perebutan, sehingga terjadi perpecahan dan bentrokan yang tidak semestinya terjadi. Lihat saja kasus pemilukada di tanah air yang sering berujung dengan kericuhan dan kerusuhan.
Sebagai seorang
Muslim kita harus kembali memandang sesuatu dengan tuntunan wahyu.
jangan memandang sesuatu baik kecuali Allah dan rasul memang menilai itu
baik. Demikian pula sebaliknya, jangan memandang sesuatu buruk kecuali
Allah dan rasul menilainya buruk.
Oleh karena itu merupakan satu
langkah yang tidak indah, tidak baik, dan tentu tidak benar, jika kita
sesama Muslim harus adu otot, adu jotos untuk memperebutkan sesuatu yang
sebenarnya tidak perlu diperebutkan. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wassallam melarang keras hal ini. Sebagaimana sabdanya; “Sepeninggalku nanti janganlah kalian kembali menjadi orang-orang kafir, sehingga sebagian menghajar tengkuk sebagian yang lain.” (HR. Bukhari).
Seperti sekarang sering terjadi, terkadang tanpa sadar kita sesama Muslim saling sikut, saling jilat dan saling injak hanya untuk urusan jabatan agar bisa mendapatkan kekayaan.
Sebagian kelompok elit sengaja menggunakan masyarakat kecil untuk melakukan kerusakan demi kepentingan politisnya. Bahkan ketika rakyat menolak suatu kebijakan dan menuntut perbaikan, sebagian pejabat malah menghadapinya dengan kasar hanya karena untuk mempertahankan jabatannya. Akhrinya terjadilah pertumpahan darah di antara sesama Muslim.
Padahal rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam melarang kita yang demikian itu. Tetapi apa mau dikata, ketika wahyu sudah tinggal bacaan. Kita tidak bisa hentikan, perilaku umat atau rakyat kian jauh dari tuntunan kebenaran sebab para pemimpinnya tidak lagi mengamalkan aturan Allah SWT.
Dengan demikian, masihkah kita ingin mendapat kekayaan dengan cara merengkuh jabatan? Memimpin dengan nafsu bukan ilmu? Padahal semua itu adalah amanah yang kelak pasti akan dipertanggungjawabkan.
Rasulullah mengatakan, "Sebaik-baik
pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun
mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan
mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci
dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun
melaknat kalian." (HR. Imam Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan, "Ada tiga orang yang tidak ditolak do'a mereka: orang yang berpuasa sampai dia berbuka; seorang penguasa yang adil; dan do'a orang yang dizalimi (teraniaya). Do'a mereka diangkat oleh Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, "Demi keperkasaanKu, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Tirmidzi)
Masalahnya, apakah selama menjadi pemimpin, kita semua ini adalah orang yang adil dan amanah?
Ketahuilah saatnya nanti ajal akan tiba melenyapkan segalanya. Saat di mana dosa akan diperhitungkan dan amal sholeh dilipatgandakan. Hanya pemimpin yang adil saja yang akan mendapatkan ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Itulah pemimpin sejati, pemimpin yang rela menderita di dunia demi rakyat dan dalam rangka menegakkan kebenaran Islam.*/Imam Nawawi (www.hidayatullah.com)
Posting Komentar